Sehari Menuju Hari Kemenangan

Sehari menuju hari kemenangan. Kemenangan bagi mereka yang sudah menjalankan ibadah puasa dengan sungguh-sungguh.

Sebelum membaca lebih lanjut tulisan saya ini, sebaiknya saya beritahukan lebih dulu. Saya tidak menyukai ada semacam debat setelah kalian selesai membaca keseluruhan tulisan ini. Buat saya, debat sama sekali tidak memberikan solusi atau jalan keluar, atau jalan tengah. Heheh.. debat hanya untuk orang-orang keras kepala. Orang-orang yang, bukannya tidak bisa, tapi mereka tidak mau menerima pendapat orang lain.. yang merasa pendapat mereka paling benar. J Hm, siapa di dunia ini Yang Maha Benar?

Jadi, bagi yang lembut kepala, dan dapat menerima pendapat dalam tulisan saya ini, go ahead… (menerima pendapat orang lain bukan berarti kamu harus sepaham dengan pendapatnya itu, ok?)

Suatu malam, papa saya bertanya, apakah saya sering ikut semacam pengajian di kampus? Hm, saya jawab sejujurnya, tidak, pa. Tapi, setelah itu papa saya gak tanya lebih jauh… seperti bentuk pertanyaan lebih lanjutnya, “Kenapa?”

Nggak tuh, papa saya gak nanya lagi. Baguslah, pikir saya. Karena akan sedikit rumit menjelaskan alasan saya jarang ikut pengajian.

Bukannya saya ga pernah ikut pengajian atau sejenis mentoring di kampus, saya pernah. Dulu, waktu masih satu tahun pertama di IPB, saya sempat ikut dua mentoring. Mentoring pertama, memang hukumnya wajib untuk mata kuliah Agama Islam.. kemudian mentoring kedua, itu juga sama-sama wajib, yg diadain sama kakak asrama.. kami manggilnya SR (Senior Residence). Selama mentoring itu, alhamdulillah, istilah “penyiraman rohani” benar-benar saya rasakan saat itu. Saya jadi sering ingat Allah, jadi sering ingat kiamat, jadi sering banyak istigfar dan kesadaran-kesadaran lainnya.. 😀

Saya senang. Senang sekali ikut mentoring. Tapi, ada beberapa hal yang diajari di mentoring itu yang saya gak sependapat. Yang lama-lama, seolah-olah beberapa pemikiran mereka mencoba mendoktrin otak saya. Jadi, selepas setahun pertama di IPB itu, saya berusaha membebaskan pikiran saya. Maksudnya, ada baiknya juga kan pikiran-pikiran kita berpetualang sedikit.. Gak cuma diam di satu box yang sama?

Saya gak setuju, waktu mereka berbicara soal satu hal yang mereka sebut misionaris. Jadi, ceritanya berawal dari sekelompok masyarakat miskin di daerah Indonesia bagian timur yang menerima bingkisan mie instant dari sejumlah orang yang disebut-sebut ingin menyebarkan agama tertentu, sebut aja agama O deh. Nah, masyarakat yg nerima bingkisan mie itu, entah karena tersentuh atas bantuan itu, entah apa, jadi keluar dari agama Islam, dan masuk agama O …

Mereka (saudara-saudara-Islam-saya-tp-kami-beda-pendapat), mengatakan itu misi dari misionaris, yang mau menyebarkan agama O di Indonesia. Kemudian, mereka sibuk membahas bagaimana misionaris-misionaris ini telah menjalankan aksinya secara gencar-gencaran di seluruh Indonesia.. Lalu, acara mentoring kami itu sampai akhir, sibuk membicarakan taktik/ strategi misionaris..

Ada satu hal paling mendasar dari hal yang kami bahas, yang saya pikir seharusnya jadi inti pembahasan, bukannya membahas soal strategi misionaris dalam menyebarkan agama Onya … yang saya yakin, ujung-ujungnya dari hasil mentoring itu akan ada rasa benci dan marah yang tertanam di diri saya pada umat beragama lain…

Satu hal yang mendasar itu adalah…. Saat saudara-saudara semuslim kita, sedang kelaparan dan butuh makan, .. dimana kita (yg katanya sesama muslim harus saling membantu) saat itu?

Dan ketika ada umat beragama lain, yang saat itu menolong mereka dengan memberikan bantuan makanan…  yang membuat mereka kemudian berubah pikiran untuk pindah agama…… Lalu kita mengetahuinya. Dan yang kita lakukan adalah, menyalahkan hal itu sebagai misi dari misionaris?

Saya jadi inget sama kata-kata dari seorang penderita AIDS yang sekarang sudah meninggal.. Dia bilang gini, “Jika ada seekor ular yang masuk ke rumahmu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah bagaimana caranya mengeluarkan ular tersebut, bukannya sibuk meributkan darimana ular itu datang” …

Itu sebenarnya baru satu dari sekian banyak hal yang saya gak sependapat, meskipun kami sama-sama satu agama.. Saya rasa gak masalah.. mmm.. setiap orang kan melalui proses dalam berpikir dan menentukan pendapat yang berbeda-beda, meskipun masih di bawah satu payung.. Ya, gak apa-apa kan yaaa? asal bukan perbedaan prinsip yg paling mendasar..

Lain waktu, lain tempat. Ini sudah di luar mentoring.

Ada satu teman saya, sebut saja A, dia seorang laki-laki yang taat beribadah. Waktu itu kami dan beberapa orang teman saya lainnya, ramai-ramai, pergi makan ke suatu tempat.. Umm.. ya.. seperti ritual sebelum pesan, kami liat-liat daftar menunya… Saya pesan. Dua teman perempuan saya lainnya pesan. Dan tiba-tiba si A tidak memesan.. Wah.. kami kan jadi ga enak gitu ya, ada apa nih, kok gak pesen… Trus dia bilang alasannya sambil menunjuk ke buku menunya. Ada salah satu menu yang ada embel-embel “ham” (daging babi). Saya nyaranin dia untuk pesan yang lain aja.. di situ juga kan ada nasi goreng, mie goreng,.. dan makanan Indonesia lainnya tanpa embel-embel ham. Tapi dia tetep gak mau.. katanya, gak ada yang jamin. Waktu dia bilang gak ada yang jamin, saya nanya ke mas-mas “Waiter”, “Mas, ini ham di sini daging babi beneran atau apa?” .. Trus kata masnya itu, “Nggak kok, mbak, kami gak pakai daging babi, kami pakai daging sapi putih”. Tapi si A tetep menggeleng.. gak mau pesan dan alasan selanjutnya, dia bilang, bisa jadi alat-alat piringnya saling bercampur.. (emm, maksudnya bekas makan ham itu dengan alat makan lainnya). Waktu dia bilang begitu, saya cuma diam. Kalo kata orang diam itu tanda setuju,.. yang ini bukan. Saya diam karna saya gak habis pikir…

Saya tau daging babi itu haram. Tapi apakah benar-benar “seharam” itu? Tanpa ada pengecualian? Ya, some of you might say yes. Some of you might say “maybe”… but I say .. for some cases, pasti ada pengecualian. Misalnya, kalau kamu ada di tengah-tengah hutan yang semua tumbuhannya beracun, dan gak bisa dimakan, sementara suplai makananmu habis.. dan tiba-tiba ada babi datang.. Dan hanya babi itu yang bisa menyelamatkanmu dari mati kelaparan? Apa? Kalo saya sih, saya akan makan babi itu. Daripada makan temen manusia di sebelah saya?

Yang saya pelajari dari agama saya, kenapa sesuatu dibilang haram, itu ada alasannya. Bukannya sekadar doktrin yang harus saya makan bulet-bulet. Bahkan, Allah menyuruh kami untuk berpikir.. Bukannya terima aja kan? Ya, karna babi itu tinggal di lingkungan yang kotor, dan di dalam tubuhnya sendiri, hidup banyak penyakit yang bisa membahayakan kesehatan manusia, seperti cacing apa itu namanya yg hidup di babi? ya, itu. itulah… saya yakin kalian lebih tahu daripada saya. Lalu kenapa makan darah juga haram? Karna kotor.. , sumber penyakit, dsb. Lalu kenapa minum bir/ minuman keras lainnya juga haram? Karna jika dikonsumsi berlebihan, bisa mabuk. Dan mabuk itu… adalah saat-saat dimana manusia tidak bisa mengendalikan dirinya dengan baik… yanggg kemudian akan mengarah pada tindakan-tindakan yang tidak baik.. (haduh, maaf ya saya bukan org yg bisa mendefinisikan dgn baik).

Saya pikir, sama sekali gak masalah makan di tempat itu.. hanya karna ada satu menu dengan embel-embel “ham”. Dan itupun setelah kita klarifikasi ke pelayan restorannya.. apakah itu bener daging babi atau bukan? Kalau kita di luar negeri, mungkin kita harus super duper waspada. Tapi, bung, kita di Indonesia nih.. apa hamburger harus kita artiin burger isi daging babi? sementara hamburger kita isinya daging sapi olahan…

Dan saya semakin gak berenti-berentinya berpikir, saat si A itu tiba-tiba minta pocari sweat saya (lalu saya kasih meskipun agak puyeng karna capek mikir) dan minum di bekasnya ludah dan bibir perempuaaannnnnn… hoaaaa… gini deh, saya aja jijik minum bekas orang lain. Si A ini, yang bahkan menolak mentah-mentah alat piring –yg katanya bekas daging babi, padahal nggak terbukti—tapi dia nyantai-nyantai aja minum di tempat yg sudah berbekas ludah dan bibir perempuan yg bukan muhrimnya??? hella, hella, lalala, no.

Kakak saya aja jijik minum di gelas yang sama dengan saya.

Salah seorang teman perempuan saya, yang setuju dengan pendapat si A bahwa kita tetap diharamkan makan di tempat yg ada unsur barang haramnya… (tapi kalau dia tetap pesan nasi goreng di situ, hehe).

“Iya, kita tetep aja gak boleh makan di tempat yang ada unsur haramnya.. Tuuh, liat aja deh.. ada bir di situ” Kemudian dia menunjuk ke etalase yang ada di belakang saya…Waktu saya tengok, memang ada berjejer botol-botol yang mirip botol minuman… tapi waktu saya baca labelnya… tulisan di situ jelas tertera “Syrup”.

“Apaan, itu sih, sirup, bukan minuman..”

“Heh, masa sih?.. Eh iya.. sirup ding.”

hwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkw.

Ya, kadang kita memang terlalu cepat dalam menjudge sesuatu.. tanpa pernah mau berusaha untuk melihatnya lebih dekat..

Sebagian dari kita sepertinya memang terlalu sibuk untuk memerangi “barang haram” seperti daging babi… Tapi kelihatannya kita tidak sesibuk itu ya dalam memerangi barang-barang seperti rokok yang sebenarnya menurut saya bahkan lebih haram ketimbang babi. Kalau daging babi merugikan diri sendiri, kalau rokok sudah merugikan diri sendiri, juga merugikan orang lain, dan menyebabkan pemanasan global dengan sumbangan asapnya itu.

Mengapa kita begitu cepatnya mengharamkan babi? Tapi begitu lambatnya untuk mengharamkan rokok?

Sejujurnya, saya sayang dengan saudara-saudara muslim saya, meskipun sebagian besar dari mereka mungkin tidak sependapat dengan saya. Dalam hal ini. Dan saya sayang dengan umat beragama lainnya.. dan kaum atheis. Saya menhargai pendapat, prinsip, ataupun kepercayaan kalian.. karena itulah cara saya menyayangi kalian… Semua. Tidak terkecuali kamu, yang hampir selesai membaca tulisan saya yang membosankan ini… J

Hug. Hug. Love. Love

d/e